Terlahir dengan nama Darwis Triadi pada hari kamis 15 Oktober 1954 di kerten, Purwosari, Solo, Jawa Tengah. Ia merupakan anak ke-4 dari 8 bersaudara. Nama Darwis dalam bahasa Jawa memiliki arti ‘pertapa’-tetapi bukan petapa zaman dahulu, melainkan kontemplasi dalam kesendirian, sedangkan nama Triadi memiliki arti ‘anak laki-laki yang kuat’. Darwis Triadi merupakan anak terakhir laki-laki di keluarganya, ia tumbuh menjadi laki-laki yang gagah dan bisa melindungi kakak perempuannya serta menyayangi ibunya. Saat libur sekolah ketika ia duduk di bangku SMA, Darwis selalu menyempatkan mengisi waktu dengan bekerja sambilan. Uang yang dihasilkannya digunakan untuk membantu dan membahagiakan ibunya.
Babak Baru Membuka Pintu
Darwis Triadi belajar banyak dari nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tuanya. Setelah ia mampu memahami teladan-teladan menyejukkan dari sang bapak yang juga sering disampaikan oleh ibunya selepas SMA Darwis Triadi sekolah penerbang di Curug, Jawa Barat dengan mendapatkan pembiayaan setengah. Akhirnya Darwis Triadi berhasil mencatatkan diri memiliki sertifikat Private Pilot License sebafau penerbang, dan menjadi pilot carter flight, di bawah FASI selama 1,5 tahun. Hingga suatu ketika ia pulang ke rumahnya dan menceritakan pengunduran dirinya menjadi pilot. Dalam perjalanan hidup manusia dalam menacapai kesuksesan kadang akan mengalami kegagalan. Darwis Triadi tidak patah semangat dengan kegagalan ia menunjukkannya dengan tetep berkeinginan untuk meraih mimpi.
Komunitas Rahardian Yamin yang beralamat di Jalan Diponegoro 10, Jakarta akhirnya dipilih Darwis Triadi menjadi tempat untuk meniti mimpi dan menghabiskan waktu untuk bersosialisasi. Kemudian di komunitas tersebutlah ia menemukan kesempatan di dunia fotografi. Darwis Triadi kemudian sering terlibat memotret dan mengabadikan berbagai kegiatan di komunitas Rahardian Yamin. Kiprahnya dalam komunitas mengantarkannya menekuni bidang fashion and beauty photography. Terjadi perubahan besar yang terjadi untuk karier maupun penentuan pilihan masa depan Darwis Triadi yakni ketika Darwis mampu menghasilkan uang Rp 50.000 dari hasil memotret brosur di Hotel Borobudur pada tahun 1980-an. Setelah itu menjadikan Darwis lebih berani lagi dalam mencari pelanggan, job-job baru, untuk mematangkan keahliannya.
Di sisi kehidupan lain, pergaulannya yang semakin luas dengan kalangan selebritas dan kumpulan top model di base camp Rahardian Yamin juga semakin menampakkan perkembangan. Darwispun lebih sering menggegam kamera. Pembeda Darwis Triadi dari fotografer lain pada masa itu adalah ketiadaan blitz atau lampu kilat yang umumnya selalu melekat pada kamera fotografi.
Darwis Triadi kemudian banyak mengambil kesempatan untuk belajar di dunia fotografi dengan menyisihkan sebagian penghasilannya memotret untuk mengikuti short course lighting dan teknik kamera sehingga kesuksesan Darwis Triadi tidak turun begitu saja dari langit, dan tidak tumbuh begitu saja dari bumi. Tetapi sesuatu yang dikerjakan dengan perjuangan, kerja keras, dan usaha yang tidak mudah. Bagi Darwis Triadi kesuksesan diukur dengan karya, visi, dan dibuktikan dengan pekerjaan yang menjadikannya lebih bahagia, lebih baik, dan menjadikannya lebih berarti dan bermanfaat bagi sesama.
Sumber: (Triadi & Sugiarto. 2017. Srengenge – Sebuah Biografi Darwis Triadi. Jakarta: Kompas Penerbit Buku)